Minggu, 05 Februari 2012

Pengemis Yahudi Buta & Nabi Muhammad SAW

Alkisah, hiduplah Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi ia lalui dengan selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya".

Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?",tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

Nah inilah kisah itu sobat, dari kisah di atas kita bisa mengambil hikmah, bahwa setiap perbuatan yg kurang menyenangkan yg kita dapatkan dari orang lain bukan menjadi alasan bagi kita untuk memusuhi orang tersebut, Allah SWT berfirman, secara singkatnya begini, berdakwalah kejalan tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yg baik dan lawanlah mereka yg tidak menyukaimu dengan cara yg baik pula.

sumber : Facebook Saudara Sejati

Minggu, 08 Januari 2012

Mustajabnya Doa Orangtua

Dahulu, ada orang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil bernama Juraij. Setiap hari ia menyepi di sebuah kuil peribadatannya. Suatu hari tatkala ia menunaikan shalat, ibunya datang dan memanggilnya, “Juraij, kemarilah!” Juraij kebingungan, dalam hatinya berkata, “Apakah aku harus menjawab panggilan ibu, ataukah harus meneruskan shalatku.?”

“Wahai Juraij anakku, di mana engkau?” kedua kalinya ibu Juraij memanggil. Juraij bertambah bingung, mana yang harus ia pilih. Menjawab panggilan ibu atau meneruskan shalat. Dengan suara lebih keras ibunya masih berteriak memanggil anaknya, “Di mana engkau Juraij, ke sini dulu!” Kali ini Juraij benar-benar kebingungan, antara memenuhi panggilan ibunya dan meneruskan shalat. Pada akhirnya dia memutuskan untuk memilih melanjutkan shalatnya.

Karena tidak memenuhi panggilannya, si ibu merasa tersinggung, hingga terlanjur mengutuk anaknya, “Ya Allah, janganlah Engkau memanggilnya ke haribaan-Mu kecuali setelah dia dipermalukan wanita pelacur!” Dengan perasaan kesal dan sedih sang ibu kembali ke rumah.

Suatu ketika, ada wanita berparas cantik mengadu kepada Sang Raja, “Wahai Sang Raja, aku telah melahirkan seorang anak.” Lantas Sang Raja bertanya, “Dari siapakah engkau mempunyai anak?” Wanita itu menjawab, “Dari Juraij.” Sang Raja sangat murka, dan menyuruh orang untuk menangkap Juraij, untuk di hadapkan kepadanya, dan memerintahkan agar kuilnya dihancurkan. Orang pun datang berbondong-bondong untuk menghancurkan kuil Juraij , sehingga rata dengan tanah.

Dengan berjalan kaki dan kedua tangan diikat pada leher, Juraij di hadapkan pada Sang Raja, melewati kerumunan para pelacur. Namun Juraij tampak kalem, tenang dan tersenym. Lantas Sang Raja bertanya, “Wahai Juraij, wanita ini menuduhmu telah menghamilinya. Dia mengatakan bahwa anaknya adalah anakmu.” Juraij menoleh kepada si pelacur, seraya bertanya, “Apakah benar tuduhanmu, bahwa aku telah menggaulimu?” “Ya, tentu saja benar,” jawab pelacur itu dengan tegas.

Kemudian Juraij menanyakan di mana bayi itu dan menghampirinya. Ia menekan bagian pusar perut si bayi dan bertanya, “Siapakah ayahmu, wahai anak manis?” Tiba-tiba bayi itu menjawab, “Penggembala sapi.” Semua yang hadir terperanjat menyaksikan keanehan tersebut, serta merasa sangat bersalah kepada Juraij, terutama Sang Raja. Dengan rasa menyesal Sang Raja menawarkan akan membangun kembali kuilnya dengan bahan dari emas atau perak. Tapi Juraij menolak, ia hanya meminta agar kuilnya dibangun seperti sedia kala, sewaktu belum dihancurkan.

Lantas Sang Raja memerintahkan untuk membangun kuil Juraij kembali seperti semula dan bertanya, “Mengapa kamu menerima kenyataan ini dengan tersenyum, wahai Juraij? Bahkan ketika ditonton oleh para pelacur pun kamu kelihatan tenang dan tetap menghadirkan senyuman?”

“Ketika itu aku baru sadar, bahwa do’a ibuku telah dikabulkan Allah,” jawab Juraij. Kemudian Juraij menceritakan apa yang telah terjadi atas dirinya.

Rabu, 07 Desember 2011

Kisah Nyata: Lelaki Terbaik Untukku

gambar hanya sebagai ilustarsi
Kisah dibawah ini merupakan kisah dari seorang Akhwat di Gorontalo, semoga bermanfaat.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Namaku Maryani, orang-orang biasa memanggilku Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lekang dari benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup, bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Ya, sebuah perjalanan kisah yang sungguh membuat aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa tidak ada lagi orang seperti dia di dunia ini.

Pembaca nurani yang baik. Tahun 2007 silam aku dipaksa orang tuaku untuk menikah dengan seorang pria, kak Arfan namanya. kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tetapi dia seleting dengan kakakku waktu sekolah dulu, usia kami terpaut 4 tahun, yang aku tahu bahwa sejak kecilnya kak Arfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadahnya. Dan tabiatnya seperti itu terbawa-bawa hingga ia dewasa, aku merasa risih sendiri dengan kak Arfan apabila berpapasan dijalan semisal. Sebab sopan santunnya sepertinya terlalu berlebihan kepada orang-orang, geli aku menyaksikannya. Yaaah kampungan banget gelagatnya, setiap ada acara-acara ramai di kampung pun kak Arfan tidak pernah terlihat bergabung dengan teman-temannya, pasti kalau dicek kerumahnya nggak ada, orang tuanya pasti menjawab : “Kak Arfan sedang dimasjid nak, sedang menghadiri ta’lim” dan memang mudah sekali mencari kak Arfan. Sejak lulus dari pondok Pesantren Al-Akhirat Gorontalo kak Arfan selalu menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Terkadang teman-teman sebayanya menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan.

Secara fisik memang kak Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya, sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau kak Arfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara didesa semisal. Tetapi bagiku sendiri itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok kak Arfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri ta’lim? Kurang pergaulan dan kampungan banget. Kadang hatiku sendiri bertanya, “kok bisa ya ada orang yang sekolah di kota begitu kembali ke desa tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaannya yang melekat pada dirinya, Hp aja nggak punya, selain membantu orang tua pasti kerjanya ngaji, shalat, ta’lim dan kembali kepekerjaan lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja. Sekali-kali ke bioskop kek, ngumpul bareng teman-teman kek setiap malam minggunya di pertigaan kampung, yang pada malam minggu itu ramainya luar biasa. Apalagi setiap malam kamis dan malam minggu ada acara curhat kisah yang top banget, di sebuah stasiun radio swasta di Gorontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan penyiarnya juga Satria Herlambang.

Pembaca nurani yang baik. Waktu terus bergulir, dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata pacaran, akupun demikian. Aku sendiri memiliki kekasih yang sangat aku cintai, Boby namanya. Masa-masa indah aku lewati bersama Boby, indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah ini akhirnya tiba, aku dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal, yaa siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan. Lewat Pamanku orang tua kak Arfan melamarku untuk anak yang kampungan itu, mendengar penuturan Mama saat memberi tahu tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening, aku berteriak sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu, dengan tegas dan tidak terbelit-belit aku sampaikan kepada orang tuaku bahwa aku menolak lamaran keluarga kak Arfan dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku. Ya, dengan terang-terangan pula aku sampikan bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby namanya. Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur ke lantai, akupun tidak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat Mama shock. Baru ku tahu bahwa yang membuat Mama shock itu karena beliau sudah menerima secara resmi lamaran kak Arfan, hatiku sedih saat itu dan kurasakan dunia begitu kelabu, aku seperti menelan buah simalakama, seperti orang yang paranoid, bingung dan tidak tahu apakah harus ikut kata orang tua atau lari bersama kekasihku Boby? Hatiku sedih saat itu, akhirnya dengan berat hati dan penuh rasa kesedihan aku menerima lamaran kak Arfan untuk menjadi suamiku, dan kujadikan malam terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan segala kesedihanku. Jujur, meskipun kami saling mencintai tetapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku menikah dengan kak Arfan, karena saat itu Boby belum siap untuk membina rumah tangga.

Pembaca yang budiman. Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahan kami pun digelar, aku merasa bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku, air mataku tumpah dimalam resepsi pernikahan itu, ditengah-tengah senyuman orang-orang yang hadir diacara resepsi pernikahan itu, mungkin akulah orang yang paling tersiksa karena masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah aku cintai. Dan yang paling membuatku tidak bisa menahan air mataku, ternyata mantan kekasihku Boby juga hadir diacara resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi padaku ya Allah, mengapa harus yang menjadi korban semua ini adalah aku? Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap hingga akhirnya selesailah acara resepsi pernikahan kami, satu persatu tamu undangan mulai pulang hingga sepilah rumah kami, saat masuk kedalam kamar aku tidak mendapati suamiku kak Arfan didalamnya. Dan sebagai seorang istri yang terpaksa harus menikah dengannya, maka akupun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku diatas ranjang setelah sebelumnya kuhapus make up pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tidak perduli kemana suamiku malam itu, karena rasa capek dan diserang kantuk pun akhirnya aku tertidur. Tiba-tiba di sepertiga malam aku tersentak ketika ada sesosok hitam berdiri disamping ranjang tidurku, dadaku berdegup kencang, aku hampir saja berteriak histeris andai saja aku saat itu tidak mendengar suara takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu, perlahan aku mulai memperhatikan sosok yang berdiri itu, ternyata sosok yang berdiri itu adalah kak Arfan, suamiku yang sedang shalat tahajud, perlahan aku membalikkan tubuhku sambil membelakanginya yang saat itu sedang shalat tahajud, ya Allah aku lupa bahwa aku saat ini sudah menjadi istrinya kak Arfan, tetapi meskipun demikian aku masih belum bisa menerima kehadirannya dalam hidupku, saat itu karena masih dibawa perasaan mengantuk akupun kembali tertidur, hingga pukul 04.00 dini hari aku dapati suamiku sedang tidur beralaskan sejadah dibawah ranjang pengantin kami, dan kembali aku berdegup kencang tatkala mendapatinya, aku masih lupa dan belum percaya kalau aku telah bersuami semalam, tetapi ada sebuah tanya yang terdetik dalam dadaku, mangapa kak Arfan tidak tidur seranjang bersamaku? Kalaupun dia belum mau menyentuhku, yaa paling tidak tetap seranjang denganku, itukan logikanya, ada apa ini? Ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri merasa bahwa malam itu mungkin kak Arfan kecapean sama seperti diriku hingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami dimalam pertama, tetapi apa perduliku dengan semua itu, toh akupun tidak menginginkannya. Itulah gumamku dalam hati.

Pembaca nurani yang budiman. Hari terus berlalu dan kamipun menjalani aktivitas kami masing-masing, kak Arfan bekerja mencari rizki dengan pekerjaannya dan aku dirumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku, ya paling tidak menyediakan makanan buatnya meskipun kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku, aku terkadang masih merinduinya. Semula aku pikir bahwa prilaku kak Arfan yang tidak pernah menyentuhku dan tidak pernah menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi pada malam pertama pernikahan kami tetapi ternyata yang terjadi adalah hampir setiap malam sejak malam pengantin itu kak Arfan masih tidur dibawah ranjang beralaskan permadani atau tidur diatas sofa didalam kamar kami. Dia tidak pernah menyentuhku walau hanya menjabat tanganku. Jujur, segala kebutuhanku selalu dipenuhinya secara lahir dia selalu menafkahi diriku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhkan. Tetapi soal biologis entah mengapa kak Arfan tidak pernah sama sekali mengungkitnya atau menuntutnya dariku, bahkan yang tidak pernah aku pahami pernah kami secara tidak sengaja bertabrakan didepan pintu kamar dan kak Arfan meminta maaf seolah bersalah karena telah menyentuh diriku. Ada apa dengan kak Arfan, apa dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin kepadaku? Apakah aku kurang dimatanya? Atau………

Pembaca yang budiman. Jujur merasai semua itu membuat banyak tanya dalam benakku, ada apa dengan suamiku? Bukankah dia pria yang beragama dan menafkahi istri secara lahir dan batin adalah kewajiban seorang suami, ada apa dengannya? Padahal setiap hari dia mmengisi acara-acara keagamaan di masjid begitu santun kepada orang-orang dan kepada orang tuanya bahkan kepadaku kewajibannya hampir semua dia tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekalipun dia mengasari aku, berkata keras padaku, bahkan kak Arfan terlalu lembut padaku, tapi satu yang belum ia tunaikan yaitu nafkah batin. Aku sendiri saat mendapatkan perlakuan darinya yang begitu lembutnya mulai menumbuhkan rasa cintaku kepadanya dan membuatku perlahan melupakan masa laluku bersama Boby, aku bahkan mulai merindukannya tatkala kak Arfan sedang tidak ada dirumah, aku bahkan berusaha selalu menyenangkan hatinya dengan melalukan anjuran-anjuran yang dia sampaikan lewat ceramah-ceramah kepada muslimah umumnya, yakni memakai busana muslimah yang syar’i.

Memang dua hari setelah pernikahan kami, kak Arfan memberikan hadiah yang diisi dalam sebuah karton besar kepadaku. Semula aku mengira bahwa hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga ternyata isinya adalah 5 potong jubah panjang berwarna gelap, 5 buah jilbab panjang sampai kelutut juga berwarna gelap, 5 pasang kaos kaki panjang dan tebal berwarna hitam dan 5 pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku merasa sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam benakku dan dalam bayanganku bahwa inilah konsekwensi menikah dengan seorang ustadz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya ternyata dugaanku salah sama sekali, sebab hadiah itu tidak pernah sama sekali disentuhnya atau ditanyainya dan kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapapun, ku kenakan busana itu biar ia tahu bahwa aku menganggapnya istimewa bahkan kebiasaannya sebelum tidur mengaji sudah mulai aku ikuti. Kadang-kadang ceramahnya dimasjid sering aku ikuti dan aku praktekan dirumah. Tetapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya, entah mengapa hingga memasuki 6 bulan pernikahan kami dia tidak pernah menyentuh aku. Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur ia awali dengan mengaji lalu tidur diatas hamparan permadani dibawah ranjang hingga ia terjaga lagi disepertiga malam dan melaksanakan shalat tahajud. Hingga suatu saat kak Arfan jatuh sakit, tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi, aku sendiri bingung bagaimana cara menanganinya? Sebab kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku, aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasanya untuk membantu. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tetapi apa yang harus aku lakukan ya Allah? Aku bingung saat ini.

Pembaca nurani yang baik. Malam itu aku tidur dalam keadaan gelisah, aku tidak bisa tidur mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak, ku dengar kak Arfan sering mengigau kecil, mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia selalu mengigau sementara malam begitu dingin disertai hujan yang sangat deras dan angin yang bertiup kencang. Kasian kak Arfan pasti dia sangat kedinginan saat itu, perlahan-lahan aku bangun dari pembaringan dan duduk kemudian menatapnya yang sedang tertidur pulas. Perlahan aku pasangkan selimutnya yang sudah menjulur kebawah, ingin sekali aku merebahkan diriku disampingnya atau hanya sekedar mengompresnya dengan air hangat. Tetapi aku tidak tahu bagaimana harus memulainya, hingga aku akhirnya tidak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya. Tetapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit dahinya kak Arfan terbangun dan duduk menjauhiku sambil berujar, “Afwan dek, kau belum tidur, Kenapa ada dibawah? Nanti kau kedinginan, ayo naik lagi keranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh sakit” pinta kak Arfan kepadaku, hatiku miris saat mendengar semua itu, dadaku sesak, mengapa kak Arfan selalu dingin kepadaku? Apakah dia menganggap aku orang lain? Apa dihatinya tidak ada sama sekali cinta untukku? Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali aku luapkan, hingga akhirnya gemuruh dihatiku tak bisa aku bendung juga. “Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini kepadaku begitu dingin, kau bahkan tidak pernah mau menyentuhku, walaupun hanya sekedar menjabat tanganku, bukankah aku ini istrimu, bukankah aku telah halal buatmu, lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan dikamarmu, apa artinya diriku bagimu kak, apa artinya bagiku, apa artinya diriku, kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahi aku kak, mengapa?” itulah ujarku disela isak tangis yang tidak bisa aku tahan. Tidak ada reaksi apapun dari kak Arfan menanggapi galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu itu, yang nampak adalah dia malah memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel didinding kamar kami, hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar kepadaku, “Dek, jangan kau pernah bertanya kepada kakak tentang perasaan ini padamu, karena sesungguhnya kakak begitu sangat mencintaimu tetapi sebaliknyalah tanyakan hal itu pada dirimu sendiri. Apa saat ini telah ada cinta untuk kakak? Kakak tahu dan kakak yakin suatu saat kau akan bertanya mengapa selama ini sikap kakak begitu dingin padamu. Sebelumnya kakak minta maaf dek bila semuanya baru kakak kabarkan malam ini, kau mau tahu apa sebenarnya maksud kakak dengan semua ini?” ujar kak Arfan dengan agak sedikit gugup. “Ya saya mau tahu, tolong jelaskan ini padaku kak, mengapa kakak begitu tega lakukan ini padaku? Tolong jelaskan kak!” ujarku menimpali tutur kak Arfan. Saat itu kak Arfan memulainya dengan helaan nafas panjang. “Dek, kau tau apa itu pelacur, dan apa pekerjaan dari seorang pelacur? Afwan dek, dalam pemahaman kakak seorang pelacur adalah wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa perduli apakah dihatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air matanya manakala dia harus melayani lelaki yang tidak ia cintai bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dengan apa yang sedang terjadi saat itu, dan kakak tidak ingin itu terjadi padamu karena kau bukan pelacur, kau istriku dek kau bukan pelacur. Betapa bejatnya kakak ketika kakak memaksamu harus melayaniku dengan paksa saat malam pertama pernikahan kita sedangkan dihatimu tidak ada cinta sama sekali buat kakak, alangkah berdosanya kakak bila saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak, tetapi ada lelaki lain. Kau mau tahu dek? Sehari sebelum pernikahan kita, kakak sempat datang kerumahmu untuk memenuhi undangan bapakmu, namun begitu kakak sampai tepat berada didepan pintu gerbang rumahmu, kakak melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu Boby. Kau ungkapkan bahwa kau tidak mencintai kakak, kau ungkapkan bahwa kau hanya akan mencintai Boby selamanya, kau tahu dek? Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah merampas kebahagiaanmu, dan kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak ini karena terpaksa, kakak juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan bahwa begitu sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas, haruskah kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu? Sementara tanpa memperdulikan perasaanmu, kakak terpaksa menunaikan kewajiban sebagai seorang suami pada malam pertama, sementara kau sendiri seolah mematung dan berderai air mata seperti seorang pelacur. Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku, kau tahu? Kakak begitu sangat mencintaimu dan kakak akan menunaikan semua itu manakala dihatimu sudah ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu, agar kau menikmati dengan apa yang kita lakukan bersama. Dan Alhamdulillah apabila hari ini kau sudah mencintai kakak dan kakak juga sangat bersyukur jika hari ini kau telah melupakan mantan kekasihmu itu, beberapa hari ini kakak perhatikan kau juga sudah mengenakan busana yang syar’I, pinta kakak padamu dek luruskan lagi niatmu kalau kemarin kau mengenakan busana syar’I itu hanya untuk menyenangkan kakak semata, maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua itu untuk Allah SWT setelahnya tentunya untuk kakak.”

Pembaca nurani yang budiman. Mendengar semua itu aku memeluk suamiku aku merasa bahwa dia adalah lelaki yang terbaik selama hidupku, aku bahkan telah melupakan Boby, aku merasa bahwa malam itu aku adalah wanita yang paling bahagia, karena meskipun dalam keadan sakit untuk pertama kalinya kak Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui dengan penuh kebahagiaan, kak Arfan begitu sangat kharismatik terkadang dia seperti seorang kakak buatku terkadang seperti orang tua, darinya aku banyak belajar, perlahan aku mulai meluruskan niatku aku mengenakan busana syar’I semata-mata hanya karena Allah dan untuk menyenangkan suamiku. Sebulan setelah malam itu dalam rahimku telah tumbuh benih-benih hasil dari buah cinta kami berdua, Alhamdulillah aku sangat bahagia bersuamikan dia darinya aku belajar agama yang banyak, aku menjadi mutarobbinya. Hari demi hari kami lalui bersama dengan penuh kebahagiaan, ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan dan aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak pinangan dia.

Pembaca nuani yang baik. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara kami, setelah lahir Abdurrahman hasil buah cinta kami berdua, anak pertama kami berdua, diakhir tahun 2008 kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak panjang, kak Arfan meninggal dunia dirumah sakit sehari setelah tabrakan tersebut. Aku sangat kehilangannya, aku seperti kehilangan penopang hidupku, aku kehilangan kekasihku, aku kehilangan murobbiku, aku kehilangan suamiku.

Pembaca nurani yang budiman. Tidak pernah terbayangkan bahwa kehidupan kami bersama begitu singkatnya, yang tidak pernah aku lupakan diakhir kehidupan kak Arfan dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku. “Dek, pertemuan dan perpisahan itu adalah fitrahnya kehidupan, kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta padamu dek, jaga Abdurrahman dengan baik, jadikanlah dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama Allah dan senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat, memberikan yang terbaik untuk ummat, didik dia dengan baik dek jangan kau sia-siakan dia. Satu permintaan kakak, kalau suatu saat ada seorang pria yang datang melamarmu, pilihlah pria yang tidak hanya mencintaimu tetapi juga mau menerima kehadiran anak kita, maafkan kakak dek bila selama bersamamu ada yang kurang yang telah kakak perbuat untukmu, senantiasalah berdoa kalau kita berpisah di dunia saat ini, Insya Allah kita akan bersua kembali di akhirat kelak. Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi terlebih dahulu meninggalkan dirimu, Insya Allah kakak akan senantiasa menantimu.” Demikianlah pesan terakhir kak Arfan sebelum keesokan harinya kak Arfan meninggalkan dunia ini, hatiku sangat sedih saat itu, aku merasa sangat kehilangan, tetapi aku berusaha mewujudkan apa yang menjadi harapan teakhirnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

sumber: kak-imad.blogspot.com
judul asli: Kisah Nyata Akhawat Gorontalo

Kamis, 17 November 2011

Hikayat Batu dan Pohon Ara

Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya. Diantara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah Sang Saudagar bersama anak semata wayang nya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar dimana-mana. Sungguh kereta yang mahal.

Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka berada di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak, sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.

"Bapa, mengapa tampak oleh ku bebatuan dengan teratur tersebar di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu ?".

"Baik pengamatanmu, anakku", jawab Ayahnya,"bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda".

"Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa ?", tanya anaknya kembali.

"Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru di pinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu.".

"Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu padaku?"

"Tentu buah hatiku", sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya.

"Dahulu, ketika aku masih belia, hal ini pun menjadi pertanyaan di hatiku. Dan kakekmu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah kehidupan. Masing-masing batu yang tampak olehmu sebenarnya
sedang menindih sebuah biji pohon ara."

"Tidakkah benih pohon ara itu akan mati, karena tertindih batu sebesar itu Bapa?"

"Tidak anakku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin".

"Bilakah hal itu terjadi Bapa ?"

"Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Samapai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunasnya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya.

Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar."

"Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa?", tanya anaknya.

Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.

"Benar anakku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat, ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagimu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan akhirnya tampil sebagai pemenang.

Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih, mati oleh bebatuan itu. Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk dapat menyingkirkan batu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Dzat Yang Maha
Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk di muka bumi ini.

Perhatikanlah kata-kata ini anakku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita."

Selasa, 08 November 2011

Mangkuk yang Cantik, Madu yang Manis dan Sehelai Rambut

Rasulullah SAW dengan sahabat-sahabatnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan ‘Ali bin Abi Thalib r.a. bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a. istrinya Fathimah Az Zahra r.ha. putri kesayangan Rasulullah SAW menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut ikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu yang manis, dan sehelai rambut).

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a berkata, “iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut”.

Umar bin Khattab r.a berkata, “kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Utsman bin Affan r.a. berkata, “ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber’amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Ali bin Abi Thalib r.a berkata, “tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Fathimah Az Zahra r.ha. berkata, “seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Rasulullah SAW berkata, “seorang yang mendapat taufiq untuk beramal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, beramal dengan amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Malaikat Jibril AS berkata, “menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

Allah SWT berfirman, ” Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”.

www.kisahislami.com

Sabtu, 05 November 2011

Kita Saat Ini Adalah Raja

Ada satu negeri yang sangat aman, rakyatnya makmur dan sentosa. Hal ini karena negeri itu diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijak. Raja ini selalu memperhatikan dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya.

Suatu malam Sang Raja ingin keliling negeri melihat langsung kondisi rakyatnya. Dengan ditemani beberapa orang menteri dan pembantunya. Sang Raja secara diam-diam pergi keliling negeri. Di suatu rumah Sang Raja mendengar rintihan seorang pemuda yang kelaparan. Si Ibu dengan suara lemah mengatakan kepada anaknya bahwa dia sudah tidak memiliki lagi persediaan makanan. Sang raja mendengar itu dan langsung bertanya kepada menterinya, bagaimana hal ini bisa terjadi? Setelah berunding, mereka sepakat untuk secara diam-diam membawa sang anak ke istana malam itu juga dan mengangkatnya menjadi raja selama sehari.

Setelah si pemuda itu tertidur, secara diam-diam para ponggawa membawanya ke istana tanpa sepengetahuan siapapun. Di istana si pemuda itu ditidurkan dalam kamar tidur yang besar dan mewah. Pagi harinya ketika terbangun, dia terheran-heran. Beberapa pembantu istana menjelaskan bahwa dia saat ini di istana kerajaan dan diangkat menjadi raja. Para pembantu istana sibuk melayaninya.

Sementara itu di tempat terpisah si ibu kebingungan dan cemas karena kehilangan anaknya. Dicarinya kemana-mana tapi sang anak pujaan hati tetap tak ditemukannya. Siang harinya sambil menangis bercucuran air mata si ibu pergi ke istana raja untuk meminta bantuan. Namun di gerbang istana si ibu tertahan oleh para penjaga istana. Penjaga memberi tahu raja barunya bahwa di luar istana ada seorang ibu tua lusuh dan kelaparan. Raja kemudian memerintahkan untuk memberi sedekah satu karung beras kepada ibu tua tersebut.

Malam harinya sang raja tidur kembali di kamarnya yang megah dan mewah. Tengah malam secara ponggawa istana secara diam-diam memindahkan kemballi pemuda yang sedang tidur lelap itu ke rumah ibunya. Esok pagi si ibu sangat gembira karena telah menemukan kembali anaknya yang hilang kemarin. Sebaliknya si Pemuda heran kenapa dia ada di rumahnya kembali. Si ibu bercerita bahwa kemarin dia mencarinya kesana-kemari hingga pergi ke istana untuk minta bantuan, dan pulangnya dia diberi oleh raja sekarung beras. Si Anak segera menyadari bahwa dia kemarin yang memberi sekarung beras itu. Kemudian bergegas dia pergi ke istana dan menghadap raja, minta diangkat kembali menjadi raja.

Sang raja menolak. Si Pemuda tetap memohon, bahkan kalau perlu diangkat menjadi raja setengah hari saja. Jika dia menjadi raja, dia ingin mengirim beras ke ibunya lebih banyak lagi, tidak hanya sekarung seperti kemarin. Sang raja tetap menolak permohonan pemuda itu. Sambil menghiba-hiba pemuda itu minta hanya sejam saja bahkan beberapa menit saja. Sang raja tetap menolak dengan alasan waktumu menjadi raja sudah habis. Dengan perasaan sangat menyesal dan menangis si pemuda pulang kembali ke rumah gubuknya dan melihat hanya ada sekarung beras di rumahnya, yang sebentar lagi juga habis dimakan mereka berdua.

Dia sangat menyesal mengapa waktu dia menjadi raja tidak mengirim beras banyak-banyak ke ibunya itu. Kini kesempatan itu telah hilang dan tak akan kembali.Itulah tamsil penyesalan di akhirat bagi kita yang amalnya sedikit ketika hidup di dunia. Bukankah kita saat ini masih hidup di dunia? Yes… karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini. Kita saat ini adalah raja...

Kisah Nenek Pemungut Daun

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapu sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.” Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.“

Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura yang bernama Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasulullah SAW?

Waminallah taufik wal hidayyah

Kisah ini di kirim oleh Syrief Nur ke milli : muhibbun_naqsybandi@yahoogroups.com, dia membacanya dari sebuah buku dan tidak dicantumkan nama bukunya. Saya tampilkan disini semoga bisa diambil hikmahnya
--- 
http://oyyoradyt.blogspot.com